Monday, October 24, 2016

PERIHAL MENJADI DEWASA

Saya sudah dewasa. 24 tahun.

Namun perihal pendewasaan ternyata selalu menjadi hal yang tidak akan pernah berhenti.

Pernah ada suatu masa dimana saya bangga karena merasa menjadi sosok yang sangat dewasa dalam pemikiran, dibanding sosok teman-teman seumuran saya. Saya selalu bangga pada diri sendiri karena saya bisa tetap berjalan lurus, meskipun masalah hidup tidak pernah berhenti datang sejak 10 tahun silam.

Dulu saya adalah sosok yang manja, sangat manja. Hingga tiba tanggal itu, 27 Juni 2006, satu bulan setelah gempa besar Jogja, hari dimana saya harus berubah. Terpaksa.

Segala sesuatunya menjadi berbeda sejak saat itu. Saya tidak bisa lagi menjadi sosok yang manja karena semua orang terlalu sibuk mengurusi kehidupan mereka masing-masing. Mereka sibuk mencari uang, mereka sibuk mencari kebahagiaan, mereka sibuk menyusun kehidupan masa depan.

Lalu tinggallah saya sendiri, gadis berusia 14 tahun yang tidak punya pegangan -atau bahasa kerennya- tidak punya role model. Saat itu saya tidak punya pilihan lain selain tumbuh menjadi gadis muda yang berpikiran dewasa. Yah, gadis manja sekarang sudah berubah.

***

Kebanggaan saya perihal menjadi dewasa memudar satu setengah tahun yang lalu, ketika saya bertemu dengan seorang pria yang hingga saat ini masih menjadi pasangan saya. Bukan pria pertama sebenarnya, tapi entah mengapa yang ini terasa berbeda.

Si gadis dewasa ternyata hanya topeng.

Gadis 14 tahun yang penuh kebimbangan ternyata masih ada di sana. Ia hanya bersembunyi, menunggu waktu yang tepat untuk datang kembali. 

Waktu saya seakan mundur ke masa 10 tahun yang lalu. Sosok sang gadis manja muncul lagi dalam hubungan kami. Saya sering merengek, saya sering menangis, saya seringkali bimbang akan masa depan.

Mungkin intinya hanya satu. Sepuluh tahun yang lalu saya butuh sandaran, namun saya tidak menemukan siapa pun. Ketika saat ini saya menemukannya, bisa jadi saya sudah terlalu tua untuk hal itu.

Sejak seminggu yang lalu saya memutuskan komunikasi dengannya. Tidak, kami tidak berpisah. 

Saya hanya ingin tahu seberapa lama saya bisa bertahan dengan kesendirian, dengan kesepian. Saya merindukan sosok si gadis dewasa, yang dahulu muncul terlalu cepat, dan kini justru hilang di saat saya membutuhkannya.

Hari ini saya banyak berpikir tentang kehidupan, tentang kedewasaan.

Saya bimbang dengan diri saya sendiri. Siapa diri saya sebenarnya? Si gadis dewasa atau gadis 14 tahun yang penuh kebimbangan?

***

Sharing salah satu rekan kerja pagi tadi membuat saya tersadar bahwa ternyata hidup adalah pilihan. Beliau dulu pernah memilih kehidupan masa muda yang kacau, lalu sekarang memilih untuk tumbuh dewasa dengan benar. Hidupnya penuh dengan pilihan, termasuk... pilihan untuk meninggalkan Yesus.

Iman dan kepercayaan adalah urusan masing-masing.

Dan saya bersyukur hingga saat ini saya masih setia pada Yesus, Saya juga masih setia pada pasangan saya. Lalu saya menyadari satu hal, saya ternyata tidak sepenuhnya setia.

Saya belum mampu setia pada proses. 

Bukankah proses menjadi dewasa memang seperti ini? Mungkin menjadi dewasa di usia 14 tahun dan menjadi kekanak-kanakan di usia 24 tahun merupakan sebuah proses pendewasaan yang harus saya lalui. 

Beruntungnya saya karena berhasil bertemu dengan pasangan saya saat ini, orang yang mampu memunculkan kembali sosok masa remaja saya yang sempat bersembunyi selama 10 tahun. Setidaknya saya tidak 100 persen kehilangan masa-masa itu kan?

Well, saya tidak mungkin bisa menggantungkan hidup pada orang lain terus. Tapi saya juga tidak harus memaksakan diri, kan?

Saat ini hampir jam setengah sembilan malam. Saya sedang berada di Mc Donald's. Sendirian.

Saya berpikir tentang banyak hal. Menulis segala sesuatu sambil terus berpikir. Tepat di pukul 20.27 WIB saya berhenti menulis dan akhirnya mendapatkan jawaban dari kesendirian saya selama hampir dua jam ini.

Nikmatilah proses.

Ternyata hanya itu kunci kedewasaan yang sebenarnya.